Penuh

        Tidurlah, kukatakan. Malam sudah terlalu larut dan sunyi untukmu yang masih saja berisik. Kau ingin berapa lama lagi?. Berjalanlah setapak demi setapak, mana tahu semua kecewa itu berjatuhan dijalanan sedikit demi sedikit. Sakitmu mulai mereda seiring waktu. Aku mencari hari-hari yang aku tahu bisa lebih baik daripada ini.

Hari-hari penuh semangat meski lelah;

Hari-hari penuh emosi namun menyenangkan;

Kau tahu, hari dimana hatimu penuh.

Kukira, sunyi adalah sebuah kedamaian. Namun rupanya tidak, sunyi juga bisa lebih berisik daripada jalanan kota.

        Mengapa manusia begitu rakus? Mengharapkan kehidupan akan seperti ini dan itu, begini dan begitu. Satu dapat, maka ingin mendapatkan dua lainnya. Tidak pernah berhenti. Mungkin karna kita selalu mengharapkan “Penuh”.

        Ada banyak sekali pertanyaan. Bagaimana jika aku terlahir memang memiliki takdir seperti ini? Bagaimana jika selamanya aku hidup dengan hampa? Bagaimana jika duniaku memang sudah selesai?

        Pernahkah kalian merasa semakin lama waktu kehidupan, rasanya hampa sudah menjadi teman karib. Apapun yang dilakukan nampaknya hanya mengikuti alurnya saja “ohh begitu, iya boleh, okey, nggak apa-apa, siap, maaf, terimakasih”. Kalimat-kalimat harian memuakkan ini bukankah bisa lebih tegas lagi?.

        Semogaku semakin tinggi, aku ingin selesai dan merasa penuh. Melakukan hal-hal egois dan berhenti mengucap maaf.

Komentar